Tana Toraja berada di bagian utara Propinsi Sulawesi Selatan, dan perjalanan saya kali ini berbeda dengan perjalanan saya sebelumnya. Merencanakannya sejak 2 Tahun yang lalu, ada rasa penasaran yang mengganjal dalam hati dan fikiran saya tentang ritual adat “Rambu Solo” atau ritual pemakaman di Tana Toraja. Dengan perbekalan yang boleh dibilang pas-pasan, dan bermodalkan nekad serta restu dari orang tua dan juga semesta. Akhirnya tiba juga waktu yang telah saya tunggu-tunggu.
Berangkat tanggal 29 Oktober 2015, dari Bogor menuju Makassar dan sehari sebelumnya berusaha kontak kawan-kawan di Makassar (Marlina Taba dan Jaysa), dimana rumah dari Marlina Taba seringkali menjadi tempat singgah saya jika berada di Makassar, atau lebih tepatnya saya dan juga kawan-kawan yang lain memanggilnya Ibu Kost, karena sudah memperkenankan kami untuk menginap di rumahnya. Menempuh penerbangan kurang lebih 2,5 jam dari Cengkareng-Ujung Pandang, akhirnya saya tiba menjelang Isya, dan sudah menunggu dua orang perempuan yang sudah seperti saudara saya sendiri. “kami sudah di depan ruang kedatangan mbak”, ya dan pesan itulah yang langsung masuk kedalam nomor Hp saya begitu menyalakannya, Dan dengan setengah berlari saya menuju tempat pengambilan barang, karena tas saya masukkan kedalam bagasi.
Dan saya langsung mencari dua orang perempuan (Marlina Taba dan Jaysa), kami langsung berpelukan layaknya teletubies, tanpa menunggu lagi kami bertiga langsung naik taxi menuju kerumah Ibu kost, menginap tapi tidak tidur. Ya kami bertiga tidak tidur cepat karena kami masih jalan-jalan ke Baringin, lalu kembali ke rumah kost dan bercerita hingga larut malam. Tertawa hingga lupa bahwa sebenarnya lelah sudah menghampiri, rasa kantuk sudah mengintip dari pelupuk mata. Namun ketika kami bertiga bertemu yang ada semua berusaha menahannya. Hingga waktu menunjukkan pukul 02.30 WITA alias sudah menjelang subuh, dan kami baru menarik selimut untuk sejenak beristirahat.
Ketika pagi hadir menyapa kami, hari pertama di Makassar langsung dapat telpon dari Bapak Isjaya dan juga Istrinya, dan mereka menawarkan kepada saya untuk ikut menuju ke Malino (salah satu tujuan wisata di Sulawesi Selatan, yang suasananya hampir sama dengan puncak di Cisarua-Bogor), negosiasi dengan Marlina Taba dan juga Jaysa, meskipun saya berat sekali untuk pergi tanpa mereka, namun apalah daya ketika orang tua sudah mengeluarkan anjuran, maka dengan maaf yang teramat sangat saya meminta ijin kepada mereka semua, dan tak disangka sebelum berangkat ke Malino, hujan mengguyur Makassar hingga sore hari,sambil bercanda saya berujar ke ibu Kost dan Jaysa, “mungkin hujan turun gara-gara saya menjemur baju disini”, sambil tertawa lepas. setelah hujan reda jemputan pun datang. inilah awal dari perjalanan saya yang bermodalkan rasa yakin dan tekad tingkat 1 hahaha.
Awal tujuan saya pergi ke Toraja dan tidak punya agenda ke lokasi lainnya, namun ternyata ada tambahan bonus yang tidak saya perkirakan sebelumnya. Menginap semalam di Makassar dan menikmati sajian kuliner buatan Ibu Kost dan Jaysa, menginap semalam di Malino dan berdiskusi dengan anak-anak Mahasiswa dari Luwu Utara, setelahnya pagi kami kembali ke Makassar untuk istirahat sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja. Jam 14.00 WITA, saya bersama rombongan berangkat dengan menggunakan mobil, yang biasanya perjalanan ke Tana Toraja menggunakan Bus malam dengan fasilitas yang sangat mewah, untuk perjalanan kali ini saya tertantang untuk melakukan perjalanan siang hari dengan menggunakan mobil pribadi. Sepanjang perjalanan saya mendapatkan sajian pemandangan, kuliner dan pengalaman yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, singgah sebentar unutk membeli kue tradisional di tepi jalan (ahh saya lupa namanya, dan kue itu di jual disepanjang jalan daerah Pangkeb), dan selang 1 jam kami singgah untuk menikmati sajian kuliner di Daerah Barru (Maaf sodara saya juga lupa nama makanannya), menjelang senja karena jalanan di daerah Barru juga berdampingan dengan laut, kami sontak teriak ke Bapak sopir untuk menepi karena pemandangan matahari tengelam sangat menggoda untuk kami lewatkan.
Setelah menikmati perjalanan, tiba pada saat rasa kantuk mulai mendatangi kami, dan perjalanan selanjutnya sedikit terlewatkan karena saya sendiri sudah terlelap, hingga tiba di tempat persinggahan selanjutnya, kami singgah untuk minum kopi dan meluruskan kaki sejenak di daerah Enrekang. Dan mulailah mulut saya bertanya tentang cerita atau lebih tepatnya tentang sejarah. Karena di awali dengan cerita tentang jembatan di kabupaten Enrekang yang menjadi tempat bertemunya Sungai Sa’dan dan Sungai Mata Allo. Dimana hulu kedua sungai tersebut berada di Tana Toraja (mohon koreksi jika saya salah menerima informasinya), penasaran dengan kedua sungai yang disebutkan tadi tapi apalah daya sudah malam dan gelap, kurang lebih 2 jam perjalanan dari Enrekang menuju Toraja. Larut malam tiba di daerah Makale Tana Toraja, dan kami semua bingung dengan alamat yang akan kita datangi, Tanya kiri kanan dan akhirnya kami bertemu dengan salah satu orang (tau nggak ternyata dia orang dari Pekalongan-Jawa Tengah), dan secara spontan pak Isjaya memanggil saya dan meminta untuk bertanya kepada orang tersebut (nah loh, akhirnya bahasa jawa saya yang tidak begitu halus meluncur juga, dan akhirnya dapat juga alamatnya).
Salah jalan tengah malam itu sebenarnya tidak asyik, tapi juga menguji adrenalin kami untuk bertanya ke orang yang belum saya kenal, dan ternyata kami bertemu dengan anak-anak muda yang sedang duduk-duduku di tepi jalan, sedikit takut saya mencoba turun dan memberanikan diri untuk bertanya lokasi ritual Rambu Solo di Madandan, karena orang pertama yang kami tanya hanya mengerti letak dari Lembang Madandan, tapi bukan lokasi Ritual Rambu Solo. Dan setelah bertanya pada anak muda, kami diantarkan oleh mereka hingga ke Rante tempat Ritual Rambu Solo di Madandan. Tengah malam setelah menemukan tempat yang kami tuju, saatnya kami beristirahat untuk mengikuti beberapa kegiatan yang di laksanakan sebelum acara pemakaman. Oh iya Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh,yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempatperistirahatan. (- See more at: http://hasanuddin-airport.co.id/det...)
Hari pertama di Madandan, saya dan rombongan lainnya mengikuti acara ma’pasonglo, ma'pasonglo yang merupakan ritual membawa jenazah dari Rumah menuju Rante “See more at : http://masridhomuhammad17.blogspot.co.id/..., dan pada hari itu kami semua mengenakan pakain warna hitam dan ikut dalam pasukan iringan yang berjalan di bawah kain merah. Sesampainya di rante tempat persemayaman jenazah, saya dan rombongan menyaksikan ritual pemotongan kerbau yang sangat menakjubkan bagi saya pribadi. Banyak hal yang saya dapatkan pada saat mengikuti prosesi ini, diantaranya menyaksikan adu kerbau atau tedong silaga, dan akhirnya saya ketakutan hingga loncat ke tebing tanpa mengerti bagaimana bisa berdiri tanpa berpegangan di lereng tebing, karena kerbau yang kalah lari keluar arena dan perlintasannya dekat dengan tempat saya berdiri, pengalaman yang lainnya lagi menyaksikan ritual pemotongan kerbau di hari terakhir prosesi pemotongan kerbau untuk persembahan, kurang lebih 50 ekor kerbau di potong dalam waktu dan hitungan yang bersamaan. Satu persatu kerbau tumbang dan saya hanya bisa menjerit, tanpa terasa menangis karena terkejut dan juga baru pertama kali menyaksikan hal yang bagi saya benar-benar membuat adrenalin saya naik. Namun ada beberapa kerbau yang tidak di potong pada saat persembahan terakhir, karena berdasarkan kesepakatan dari keluarga kerbau-kerbau itu di hibahkan untuk pembangunan Lembang (Desa) dan untuk Gereja. Dari sinilah saya menyaksikan secara langsung bahwa gotong royong dan rasa kekeluargaan terlihat sangat erat dan membuat saya seperti berada di tempat yang sudah sering kali saya kunjungi (karena keramahan dari warganya) dan juga sambutan yang luar biasa dari keluarga Almarhum Bapak Sombolinggi, Ibu Den Upa Rombelayuk, kak Romba dan juga kak Rukka beserta keluarga besarnya.
Pagi hari mengikuti prosesi ritual dan malam harinya saya menghabiskan waktu dengan bermain kartu (bukan judi), tapi saya benar-benar menjadi konyol karena saya kurang bisa begitu main kartu dan walhasil kena hukum berkali-kali hahahaha, ada saja cara untuk bisa menang, Dengan cara belajar menghitung dan mengatur kartu. Sambil menunggu rasa kantuk tiba begitulah kiranya kami menikmati malam di Villa Kebun-Rantetayo. Ohhh ada lagi pengalaman yang saya lakukan pada saat ritual rambu solo, saya menikmati sajian sirih pinang (semoga segera ada yang meminang..hahahaha ngarep.com), dan menjadi sebuah kehormatan tersendiri bagi saya untuk bisa mendapatkan sajian selamat datang dari tuan rumah, dan satu hal yang paling saya ingat saat jalan-jalan sore bersama Mbak Endang, kami berdua kehujanan sebelum sampai di tempat penginapan, walhasil kami berdua singgah di salah satu rumah penduduk dan berbincang di bawah alang/lumbung padi khas Tana Toraja.
Dan tibalah saatnya waktu dimana saya harus kembali ke Makassar, sebelum selanjutnya pulang ke Bogor. Kembali saya dan rombongan yang kali ini tersisa 5 orang dengan sopir karena yang lainnya sudah pulang terlebih dahulu. Saya mendapatkan tawaran untuk melakukan perjalanan di siang hari lagi, karena pada saat menuju Tana Toraja saya sampai Enrekang sudah tengah malam, maka kali ini saya bisa melihat Enrekang di siang hari. Sepanjang perjalanan saya mendapatkan sajian pemandangan yang sangat indah, singgah di rumah makan dan menikmati sajian Nassu Cemba dan Dangke (makanan khas Enrekang) sambil menikmati sejuknya hawa pengunungan dan indahnya hamparan Gunung Nona. Kali ini saya ditemani jaysa, yang asli dari Enrekang dan bonusnya saya mendapatkan banyak cerita tentang bentang alam di Enrekang. Jaysa akhirnya turun di Kota dan kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Makassar, dalam perjalanan pulang saya masih mendapatkan kesempatan untuk melihat secara langsung aliran Sungai Sa’dan dan Sungai Mata Allo, dan melewati daerah Pinrang yang juga tempat dari pertemuan dua sungai ini, sebelum akhirnya kami singgah untuk minum kopi,dan beristirahat di Rumah pak Isjaya.
Keesokan harinya, sebelum menuju Bandara Ujung Pandang saya dan juga kawan-kawan (Mbak Endang, Ona, Eus dan Bang Senda) karena kami berpisah pada saat kepulangan, Mereka berempat naik Bus Malam Toraja-Makassar. akhirnya kami berjanji untuk bertemu di rumah Pak Isjaya untuk bersilaturahmi dan menikmati Kapurung (Makanan Khas Tana Luwu), dan selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dengan menyempatkan waktu untuk sekedar menikmati Pantai Losari di temani Marlina Taba (“baguslah kamu ditemani guide terpercaya dan driver handal” ujar seseorang dalam pesan di Hp saya), meskipun hanya sebentar karena kami semua harus segera pulang. dari beberapa hari perjalanan saya, mulai Makassar hingga Tana Toraja, banyak pengalaman, banyak pengetahuan yang saya dapatkan meskipun dengan bermodalkan NIAT dan TEKAD, saya di pertemukan dengan orang-orang yang baik, di pertemukan dengan tempat-tempat yang indah. Dan satu hal lagi “TUHAN MAHA BAIK” karena telah memberi saya banyak kebahagiaan dengan caraNYA dan terima kasih yang tiada tara untuk semua kawan, saudara, sahabat, dan siapapun yang telah banyak membantu dan berbagi kebahagiaannya kepada saya, mohon maaf jika ada perkataan maupun tingkah laku saya selama berada di Tana Daeng, Bumi Massarenpulu dan Tana Toraja yang kurang berkenan dan banyak membuat kecewa hati dan perasaan kalian semua.






0 komentar:
Posting Komentar