Senin, 16 Januari 2017

“INKONSISTENSI PENEGAKAN HUKUM ” HASIL PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERUSAHAAN SEMEN YANG MENGEKSPLOITASI PEGUNUNGAN KENDENG-JAWA TENGAH

LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki landasan hukum sebagai sumber-sumber penegakan hukumnya, menurut Soerjono Soekanto faktor penegakan hukum itu sendiri terbagi menjadi lima diantaranya[1] :
1.      Hukumnya sendiri.
2.      Penegak hukum.
3.      Sarana dan fasilitas.
4.      Masyarakat.
5.      Kebudayaan.

Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia melalui:

1.Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
2. Undang-undang tidak berlaku surut.
3. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
4. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
5. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
6. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.
7. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
8. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi)[2]. 

Namun pada kenyataannya, ada beberapa kasus yang diajukan ke Mahkamah Agung, yang pada prosesnya, hasil putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dipatuhi oleh Pemerintah tempat dari kasus tersebut diperkarakan. Jiika merunut dari faktor-faktro yang menjadi acuan dalam penegakan hukum di Indonesia, seharusnya hasil putusan tersebut ditegakkan. Dan bisa kita lihat bagaimana pemerintah yang seharusnya menegakkan dan mematuhi hasil putusan tersebut mengingkarinya. salah satu hal yang paling mempengaruhi lemahnya penegakan hukum adalah Hukum itu sendiri  serta budaya pengingkaran serta tidak patuh akan ketetapan hukum masih berlanjut hingga saat ini.

CONTOH KASUS
Salah satu kasus yang terjadi pada masyarakat di pegunungan Kendeng-Jawa Tengah, berhadapan dengan perusahaan semen yang mengeksploitasi gunung karst mulai dari Kabupaten Pati hingga Kabupaten Bolra Jawa Tengah, penolakan-penolakan yang dilakukan oleh warga dilakukan sejak tahun 2006 pada era Gubernur Bibit Waluyo, dan pada saat itu masyarakat berhasil menghentikan rencana pembangunan pabrik semen di kecamatan sukolilo, kabupaten Pati-Jawa Tengah.

Rencana pendirian pabrik semen tersebut tidak lantas berhenti begitu saja, yang kemudian berpindah lokasi ke Kabupaten Rembang-Jawa Tengah, hingga terjadi pemblokiran jalan masuk ke tapak tambang oleh warga pada tanggal 16 Juni 2014 seperti yang dituliskan oleh Damar Juniarto .

Masyarakat yang kebanyakan ibu-ibu memblokir jalan dengan cara menghadang jalan memakai poster bertuliskan “jalan ditutup warga”. Penolakan warga tersebut karena lokasi pabrik dan lokasi ekspolitasi penambangannya di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang memiliki fungsi penyimpan cadangan air. Hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung Watuputih oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 menjelaskan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst[3].

Hingga terjadi tindak kekerasan oleh pihak kepolisian yang pada saat itu mendatangi tenda tempat ibu-ibu dari warga Rembang memasang tenda di tapak tambang, bahkan akibat dari aksi penolakan tersebut terjadi aksi saling dorong mendorong antara polisi dengan warga yang menyebabkan “Satu perempuan memar bibir, dua tenda warga roboh, kata Joko Prianto, warga Tegaldowo juga koodinator aksi”.[4] Dalam kejadian tersebut ada tiga orang yang menjadi korban Rusman, Murtini dan Paidah, ketiganya  warga Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah.  Pada 26-27 November tahun lalu, mereka menjadi korban pemukulan polisi ketika memblokir jalan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kepala lebam, kuku jempol kaki kanan berdarah terinjak sepatu aparat[5].

Ibu Sukinah selaku salah satu warga yang juga menolak pabrik semen dan juga yang ikutan aksi pemblokiran jalan masuk ke area tapak tambang mengatakan “Saya bingung, di kantor polisi tertulis Melayani dan menganyomi masyarakat 24 jam”, tapi kok di Rembang, justru menindas hak masyarakat dengan kekerasan”[6], jika melihat ucapan dari Ibu Sukinah tersebut, membawa kita untuk mempertanyakan kredibilitas para penegak hukum kita, dan hal seperti ini telah mencoreng hukum itu sendiri.

Upaya yang dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengajukan PK atas putusan PTUN Semarang No. 064/G/2015/SMG tertanggal 16 April 2015 dan putusan banding PTUN Surabaya No. 135/B/2015/SBY tanggal 3 November 2015. Hal tersebut kembali dilakukan atas dasar temuan bukti baru (Novum) dari Tim kuasa hukum petani Kendeng, terutama dokumen pernyataan saksi palsu yang menyebutkan kehadiran dalam sosialisasi pembangunan pabrik semen PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS)[7].

Hingga Mahkamah Agung memenangkan Peninjauan Kembali (PK) warga dengan Keputusan No.99/PK/TUN/2016 soal perintah pencabutan izin lingkungan penambangan PT Semen Indonesia di Rembang”[8], Dalam putusannya Mahkamah Agung dengan Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016 memerintahkan:[9]
1.      Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya…………………………………
2.      Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/1 Tahun 2012, tentang izin Lingkungan kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gersik (Persero) Tbk, di kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah……………………….
3.      Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gersik (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah…………………………

Akan tetapi putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh Bapak Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah terpilih “Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan akan menunggu salinan putusan dari Mahkamah Agung terkait dengan gugatan peninjauan kembali warga Rembang terhadap PT Semen Indonesia. "Tunggu saja dari MA, nanti baru kita sikapi. Ini kan masih statement-statement saja," katanya di Kementerian Hukum dan HAM, Jumat, 14 Oktober 2016[10], Yang seharusnya hasil putusan dari Mahkamah Agung tersebut dipatuhi oleh Gubernur Jawa Tengah. Dan hal tersebut juga dipertegas oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya yang “mendesak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mencabut izin lingkungan  PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah yang diterbitkan pada 9 November 2016. Ganjar diberi waktu sampai 17 Januari untuk kemudian menerbitkan SK baru[11]. Akan tetapi pernyataan dari Ibu Siti Nurbaya ini jadi sedikit membingungkan, karena “Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah masih boleh beroperasi[12]. Hal ini terlihat inkonsistensi dari seorang Pejabat Negara terhadap ucapannya sendiri.

Namun setelah mempelajari ulang hasil putusan Mahkamah Agung ternyata berbeda dengan nama PT semen yang beroperasi di Kabupaten Rembang tersebut, ada sesuatu yang janggal, khususnya nama dari PT tergugat tersebut, kembali dalam ucapannya Ibu Siti Nurbaya mengatakan "Kalau baca keputusan dari pengadilannya kan, MAnya kan, bilang yang nggak boleh penambangannya. Kan ada empat kegiatan di sana, ada penambangan kapurnya, penambangan (tanah) liat, ada industri, ada penggunaan untuk jalan dan bangunan-bangunan, dan yang diotak-atik oleh MA kan yang satu itu aja, yang kapur," kata Siti Nurbaya di kompleks Istana, Jumat (30/12/2016)”[13], pada putusan Mahkamah Agung menyebutkan bahwasannya Gubernur harus mencabut izin Lingkungan dari PT Semen Gersik, namun saat ini pabrik tersebut telah berubah nama menjadi PT Semen Indonesia, yang Surat Keputusan (SK) izin dari PT Semen Indonesia tersebut keluar paska Mahkamah Agung memutus menang gugatan Joko Priatno beserta JMPPK atas PT Semen Gersik tersebut.

Bentuk solidaritas dan pernyataan sikap untuk perjuangan masyarakat di Kabupaten Rembang juga hadir dari Koalisi Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) yang isinya menuntut kepada[14]:
  1. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai pihak pemberi izin untuk mematuhi putusan PK MA, dengan segera mencabut SK Gubernur Jawa Tengah No 660.1/17 Tahun 2012 terkait Izin Lingkungan atas PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Dengan sendirinya menghentikan operasi perusahaan dan pembangunan pabrik semen tersebut.
  2. Presiden Joko Widodo, sebagai pimpinan pemerintahan yang tertinggi, menjamin dan memastikan aparatnya di bawah (Gubernur) untuk mematuhi putusan hukum yang telah ditetapkan MA, melindungi hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agrarianya, sekaligus memberikan teguran serta sanksi kepada Gubernur atas upaya pengingkaran hukum dan kesepakatan politik Presiden atas kasus Rembang ini.
  3. Presiden atau Menteri Dalam Negeri segera mencabut SK Gubernur tentang izin lingkungan (baru) No. 660.1/30 tertanggal 9 November 2016, yang memberikan legitimasi hukum maupun politik terhadap operasi perusahaan semen di Rembang.
  4. Presiden Jokowi, Gubernur dan Bupati harus menjamin prioritas pemenuhan dan penghormatan hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agraria (bumi; tanah, air, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya), sebagai sumber keberlangsungan dan keberlanjutan hidupnya, baik sebagai petani maupun warga sedulur Sikep.
  5. Segala bentuk pembangunan (sektor tambang dan sektor lainnya), yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi haruslah selaras, bahkan tidak bersifat mengingkari, dengan rencana pembangunan lainnya yang memegang prinsip keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan, yakni kebijakan reforma agraria, kedaulatan pangan dan perlindungan hak-hak petani.
  6. Mengajak seluruh elemen bangsa, publik secara luas untuk bersama-sama mengawal dan menjadi bagian dari perjuangan Petani Kendeng, memastikan keadilan agraria di Kendeng dapat dipenuhi.
PENUTUP

Inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terlihat jelas dalam pelaksanaan hasil putusan Mahkamah Agung dari studi kasus diatas, pemerintah yang seharusnya patuh pada putusan tertinggi, mampu menganulir  hasil putusan tersebut dengan mengeluarkan izin Lingkungan baru dengan nama yang berbeda, sedangkan pada saat yang sama masyarakat sedang mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Ganjar Pranowo menandatangani Surat keputusan (SK) Izin Lingkungan kepada PT Semen Indonesia pada tanggal 09 November 2016, sedangkan putusan Mahkamah Agung keluar pada tanggal 05 Oktober 2016.

Pada saat di konfirmasi Ganjar Pranowo berdalih “saat meneken “adendum” itu, ia belum menerima salinan putusan peninjauan kembali dari MA. Salinan itu, klaim Ganjar, baru diterimanya pada 17 November 2016. Sedangkan “adendum” diteken pada 9 November 2016[15]. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa seorang pejabat negara tidak mematuhi hukum yang jelas-jelas hasil putusan tersebut adalah hasil putusan dari Lembaga hukum tertinggi di Indonesia.

Kekuatan hukum dari putusan Mahkamah Agung seharusnya dilaksanakan oleh siapapun yang menjadi pihak pelapor maupun terlapor, baik Masyarakat, perusahaan hingga Lembaga Negara. Dan hukum yang berlaku di Indonesia, harus ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, akan tetapi penegakan-penegakan hukum mengalami penurunan yang sangat signifikan, karena hukum itu sendiri sangat dinamis, budaya menganulir putusan sudah mengakar dan menjadi tradisi untuk melanggengkan kekuasaan dan memudahkan jalan bagi para pemodal, “Hingga keluar istilah hukum kita saat ini tajam kebawah dan tumpul keatas”, kekuasaan menjadi faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia khususnya kasus Perdata dan Pidana pada sektor konflik agraria.

Seorang Pejabat tertinggi saja mampu untuk tidak mematuhi hasil dari putusan mahkamah Agung, lantas bagaimana dengan rakyat yang harus berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah?, banyak kejadian rakyat selalu menjadi pihak yang dikalahkan, hanya sedikit keberhasilan rakyat ketika berhadapan dengan Lembaga pemerintah dan perusahaan, dikarenakan Undang-undang yang berlaku lebih berpihak pada investasi atau pemodal dan membatasi ruang gerak masyarakat.

Undang-undang yang berlaku surut menjadi faktor penghambat dalam upaya pencarian keadilan oleh rakyatnya, perubahan-perubahan isi dari Undang-undang yang dilakukan oleh rakyat melalui jalur-jalur uji materi ke Mahkamah Konstitusi telah di tempuh, dengan harapan undang-undang tersebut menjadi payung hukum bagi rakyat, upaya untuk mendapat keadilan telah di tempuh oleh para pejuang kendeng selama dua tahun ini, bahkan aksi yang mereka lakukan mendapatkan perhatian dari banyak elemen masyarakat luas baik di Jawa Tengah hingga tingkat Nasional yang hal tersebut masih harus berhadapan dengan tipu daya serta politik adu domba yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah. Reformasi dalam jalur hukum sangat diperlukan saat ini, melihat penegakan hukum yang tidak berkeadilan dan cenderung mencederai hukum itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
2.      Ibid
5.      http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/ketika-tambang-semen-di-rembang-abai-ham-dan-lingkungan-bagian-1/ , diakses  11 Januari 2017
6.      Ibid
7.      http://www.rappler.com/indonesia/148801-ma-kabulkan-pk-petani-kendeng diakses pada tanggal 11 Januari 2017
9.      Putusannya Mahkamah Agung dengan Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016
10.  https://m.tempo.co/read/news/2016/10/14/063812260/putusan-pk-pabrik-semen-di-rembang-ganjar-pranowo-tunggu-ma , Di akses tanggal 11 Januari 2017
13.  Ibid

1








[2] Ibid
[5] http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/ketika-tambang-semen-di-rembang-abai-ham-dan-lingkungan-bagian-1/ , diakses  11 Januari 2017
[6] Ibid
[9] Putusannya Mahkamah Agung dengan Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016
[10] https://m.tempo.co/read/news/2016/10/14/063812260/putusan-pk-pabrik-semen-di-rembang-ganjar-pranowo-tunggu-ma , Di akses tanggal 11 Januari 2017
[13] Ibid