Senin, 16 Januari 2017

“INKONSISTENSI PENEGAKAN HUKUM ” HASIL PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERUSAHAAN SEMEN YANG MENGEKSPLOITASI PEGUNUNGAN KENDENG-JAWA TENGAH

LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki landasan hukum sebagai sumber-sumber penegakan hukumnya, menurut Soerjono Soekanto faktor penegakan hukum itu sendiri terbagi menjadi lima diantaranya[1] :
1.      Hukumnya sendiri.
2.      Penegak hukum.
3.      Sarana dan fasilitas.
4.      Masyarakat.
5.      Kebudayaan.

Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia melalui:

1.Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
2. Undang-undang tidak berlaku surut.
3. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
4. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
5. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
6. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.
7. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
8. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi)[2]. 

Namun pada kenyataannya, ada beberapa kasus yang diajukan ke Mahkamah Agung, yang pada prosesnya, hasil putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dipatuhi oleh Pemerintah tempat dari kasus tersebut diperkarakan. Jiika merunut dari faktor-faktro yang menjadi acuan dalam penegakan hukum di Indonesia, seharusnya hasil putusan tersebut ditegakkan. Dan bisa kita lihat bagaimana pemerintah yang seharusnya menegakkan dan mematuhi hasil putusan tersebut mengingkarinya. salah satu hal yang paling mempengaruhi lemahnya penegakan hukum adalah Hukum itu sendiri  serta budaya pengingkaran serta tidak patuh akan ketetapan hukum masih berlanjut hingga saat ini.

CONTOH KASUS
Salah satu kasus yang terjadi pada masyarakat di pegunungan Kendeng-Jawa Tengah, berhadapan dengan perusahaan semen yang mengeksploitasi gunung karst mulai dari Kabupaten Pati hingga Kabupaten Bolra Jawa Tengah, penolakan-penolakan yang dilakukan oleh warga dilakukan sejak tahun 2006 pada era Gubernur Bibit Waluyo, dan pada saat itu masyarakat berhasil menghentikan rencana pembangunan pabrik semen di kecamatan sukolilo, kabupaten Pati-Jawa Tengah.

Rencana pendirian pabrik semen tersebut tidak lantas berhenti begitu saja, yang kemudian berpindah lokasi ke Kabupaten Rembang-Jawa Tengah, hingga terjadi pemblokiran jalan masuk ke tapak tambang oleh warga pada tanggal 16 Juni 2014 seperti yang dituliskan oleh Damar Juniarto .

Masyarakat yang kebanyakan ibu-ibu memblokir jalan dengan cara menghadang jalan memakai poster bertuliskan “jalan ditutup warga”. Penolakan warga tersebut karena lokasi pabrik dan lokasi ekspolitasi penambangannya di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang memiliki fungsi penyimpan cadangan air. Hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung Watuputih oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 menjelaskan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst[3].

Hingga terjadi tindak kekerasan oleh pihak kepolisian yang pada saat itu mendatangi tenda tempat ibu-ibu dari warga Rembang memasang tenda di tapak tambang, bahkan akibat dari aksi penolakan tersebut terjadi aksi saling dorong mendorong antara polisi dengan warga yang menyebabkan “Satu perempuan memar bibir, dua tenda warga roboh, kata Joko Prianto, warga Tegaldowo juga koodinator aksi”.[4] Dalam kejadian tersebut ada tiga orang yang menjadi korban Rusman, Murtini dan Paidah, ketiganya  warga Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah.  Pada 26-27 November tahun lalu, mereka menjadi korban pemukulan polisi ketika memblokir jalan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kepala lebam, kuku jempol kaki kanan berdarah terinjak sepatu aparat[5].

Ibu Sukinah selaku salah satu warga yang juga menolak pabrik semen dan juga yang ikutan aksi pemblokiran jalan masuk ke area tapak tambang mengatakan “Saya bingung, di kantor polisi tertulis Melayani dan menganyomi masyarakat 24 jam”, tapi kok di Rembang, justru menindas hak masyarakat dengan kekerasan”[6], jika melihat ucapan dari Ibu Sukinah tersebut, membawa kita untuk mempertanyakan kredibilitas para penegak hukum kita, dan hal seperti ini telah mencoreng hukum itu sendiri.

Upaya yang dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengajukan PK atas putusan PTUN Semarang No. 064/G/2015/SMG tertanggal 16 April 2015 dan putusan banding PTUN Surabaya No. 135/B/2015/SBY tanggal 3 November 2015. Hal tersebut kembali dilakukan atas dasar temuan bukti baru (Novum) dari Tim kuasa hukum petani Kendeng, terutama dokumen pernyataan saksi palsu yang menyebutkan kehadiran dalam sosialisasi pembangunan pabrik semen PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS)[7].

Hingga Mahkamah Agung memenangkan Peninjauan Kembali (PK) warga dengan Keputusan No.99/PK/TUN/2016 soal perintah pencabutan izin lingkungan penambangan PT Semen Indonesia di Rembang”[8], Dalam putusannya Mahkamah Agung dengan Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016 memerintahkan:[9]
1.      Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya…………………………………
2.      Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/1 Tahun 2012, tentang izin Lingkungan kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gersik (Persero) Tbk, di kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah……………………….
3.      Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gersik (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah…………………………

Akan tetapi putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh Bapak Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah terpilih “Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan akan menunggu salinan putusan dari Mahkamah Agung terkait dengan gugatan peninjauan kembali warga Rembang terhadap PT Semen Indonesia. "Tunggu saja dari MA, nanti baru kita sikapi. Ini kan masih statement-statement saja," katanya di Kementerian Hukum dan HAM, Jumat, 14 Oktober 2016[10], Yang seharusnya hasil putusan dari Mahkamah Agung tersebut dipatuhi oleh Gubernur Jawa Tengah. Dan hal tersebut juga dipertegas oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya yang “mendesak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mencabut izin lingkungan  PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah yang diterbitkan pada 9 November 2016. Ganjar diberi waktu sampai 17 Januari untuk kemudian menerbitkan SK baru[11]. Akan tetapi pernyataan dari Ibu Siti Nurbaya ini jadi sedikit membingungkan, karena “Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah masih boleh beroperasi[12]. Hal ini terlihat inkonsistensi dari seorang Pejabat Negara terhadap ucapannya sendiri.

Namun setelah mempelajari ulang hasil putusan Mahkamah Agung ternyata berbeda dengan nama PT semen yang beroperasi di Kabupaten Rembang tersebut, ada sesuatu yang janggal, khususnya nama dari PT tergugat tersebut, kembali dalam ucapannya Ibu Siti Nurbaya mengatakan "Kalau baca keputusan dari pengadilannya kan, MAnya kan, bilang yang nggak boleh penambangannya. Kan ada empat kegiatan di sana, ada penambangan kapurnya, penambangan (tanah) liat, ada industri, ada penggunaan untuk jalan dan bangunan-bangunan, dan yang diotak-atik oleh MA kan yang satu itu aja, yang kapur," kata Siti Nurbaya di kompleks Istana, Jumat (30/12/2016)”[13], pada putusan Mahkamah Agung menyebutkan bahwasannya Gubernur harus mencabut izin Lingkungan dari PT Semen Gersik, namun saat ini pabrik tersebut telah berubah nama menjadi PT Semen Indonesia, yang Surat Keputusan (SK) izin dari PT Semen Indonesia tersebut keluar paska Mahkamah Agung memutus menang gugatan Joko Priatno beserta JMPPK atas PT Semen Gersik tersebut.

Bentuk solidaritas dan pernyataan sikap untuk perjuangan masyarakat di Kabupaten Rembang juga hadir dari Koalisi Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) yang isinya menuntut kepada[14]:
  1. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai pihak pemberi izin untuk mematuhi putusan PK MA, dengan segera mencabut SK Gubernur Jawa Tengah No 660.1/17 Tahun 2012 terkait Izin Lingkungan atas PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Dengan sendirinya menghentikan operasi perusahaan dan pembangunan pabrik semen tersebut.
  2. Presiden Joko Widodo, sebagai pimpinan pemerintahan yang tertinggi, menjamin dan memastikan aparatnya di bawah (Gubernur) untuk mematuhi putusan hukum yang telah ditetapkan MA, melindungi hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agrarianya, sekaligus memberikan teguran serta sanksi kepada Gubernur atas upaya pengingkaran hukum dan kesepakatan politik Presiden atas kasus Rembang ini.
  3. Presiden atau Menteri Dalam Negeri segera mencabut SK Gubernur tentang izin lingkungan (baru) No. 660.1/30 tertanggal 9 November 2016, yang memberikan legitimasi hukum maupun politik terhadap operasi perusahaan semen di Rembang.
  4. Presiden Jokowi, Gubernur dan Bupati harus menjamin prioritas pemenuhan dan penghormatan hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agraria (bumi; tanah, air, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya), sebagai sumber keberlangsungan dan keberlanjutan hidupnya, baik sebagai petani maupun warga sedulur Sikep.
  5. Segala bentuk pembangunan (sektor tambang dan sektor lainnya), yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi haruslah selaras, bahkan tidak bersifat mengingkari, dengan rencana pembangunan lainnya yang memegang prinsip keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan, yakni kebijakan reforma agraria, kedaulatan pangan dan perlindungan hak-hak petani.
  6. Mengajak seluruh elemen bangsa, publik secara luas untuk bersama-sama mengawal dan menjadi bagian dari perjuangan Petani Kendeng, memastikan keadilan agraria di Kendeng dapat dipenuhi.
PENUTUP

Inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terlihat jelas dalam pelaksanaan hasil putusan Mahkamah Agung dari studi kasus diatas, pemerintah yang seharusnya patuh pada putusan tertinggi, mampu menganulir  hasil putusan tersebut dengan mengeluarkan izin Lingkungan baru dengan nama yang berbeda, sedangkan pada saat yang sama masyarakat sedang mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Ganjar Pranowo menandatangani Surat keputusan (SK) Izin Lingkungan kepada PT Semen Indonesia pada tanggal 09 November 2016, sedangkan putusan Mahkamah Agung keluar pada tanggal 05 Oktober 2016.

Pada saat di konfirmasi Ganjar Pranowo berdalih “saat meneken “adendum” itu, ia belum menerima salinan putusan peninjauan kembali dari MA. Salinan itu, klaim Ganjar, baru diterimanya pada 17 November 2016. Sedangkan “adendum” diteken pada 9 November 2016[15]. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa seorang pejabat negara tidak mematuhi hukum yang jelas-jelas hasil putusan tersebut adalah hasil putusan dari Lembaga hukum tertinggi di Indonesia.

Kekuatan hukum dari putusan Mahkamah Agung seharusnya dilaksanakan oleh siapapun yang menjadi pihak pelapor maupun terlapor, baik Masyarakat, perusahaan hingga Lembaga Negara. Dan hukum yang berlaku di Indonesia, harus ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, akan tetapi penegakan-penegakan hukum mengalami penurunan yang sangat signifikan, karena hukum itu sendiri sangat dinamis, budaya menganulir putusan sudah mengakar dan menjadi tradisi untuk melanggengkan kekuasaan dan memudahkan jalan bagi para pemodal, “Hingga keluar istilah hukum kita saat ini tajam kebawah dan tumpul keatas”, kekuasaan menjadi faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia khususnya kasus Perdata dan Pidana pada sektor konflik agraria.

Seorang Pejabat tertinggi saja mampu untuk tidak mematuhi hasil dari putusan mahkamah Agung, lantas bagaimana dengan rakyat yang harus berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah?, banyak kejadian rakyat selalu menjadi pihak yang dikalahkan, hanya sedikit keberhasilan rakyat ketika berhadapan dengan Lembaga pemerintah dan perusahaan, dikarenakan Undang-undang yang berlaku lebih berpihak pada investasi atau pemodal dan membatasi ruang gerak masyarakat.

Undang-undang yang berlaku surut menjadi faktor penghambat dalam upaya pencarian keadilan oleh rakyatnya, perubahan-perubahan isi dari Undang-undang yang dilakukan oleh rakyat melalui jalur-jalur uji materi ke Mahkamah Konstitusi telah di tempuh, dengan harapan undang-undang tersebut menjadi payung hukum bagi rakyat, upaya untuk mendapat keadilan telah di tempuh oleh para pejuang kendeng selama dua tahun ini, bahkan aksi yang mereka lakukan mendapatkan perhatian dari banyak elemen masyarakat luas baik di Jawa Tengah hingga tingkat Nasional yang hal tersebut masih harus berhadapan dengan tipu daya serta politik adu domba yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah. Reformasi dalam jalur hukum sangat diperlukan saat ini, melihat penegakan hukum yang tidak berkeadilan dan cenderung mencederai hukum itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
2.      Ibid
5.      http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/ketika-tambang-semen-di-rembang-abai-ham-dan-lingkungan-bagian-1/ , diakses  11 Januari 2017
6.      Ibid
7.      http://www.rappler.com/indonesia/148801-ma-kabulkan-pk-petani-kendeng diakses pada tanggal 11 Januari 2017
9.      Putusannya Mahkamah Agung dengan Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016
10.  https://m.tempo.co/read/news/2016/10/14/063812260/putusan-pk-pabrik-semen-di-rembang-ganjar-pranowo-tunggu-ma , Di akses tanggal 11 Januari 2017
13.  Ibid

1








[2] Ibid
[5] http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/ketika-tambang-semen-di-rembang-abai-ham-dan-lingkungan-bagian-1/ , diakses  11 Januari 2017
[6] Ibid
[9] Putusannya Mahkamah Agung dengan Nomor 99 PK/TUN/2016 tanggal 05 Oktober 2016
[10] https://m.tempo.co/read/news/2016/10/14/063812260/putusan-pk-pabrik-semen-di-rembang-ganjar-pranowo-tunggu-ma , Di akses tanggal 11 Januari 2017
[13] Ibid

Senin, 05 Desember 2016

BATASAN USIA DEWASA SESUAI PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA (Learn to Analyze) #Documentation2#

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya banyak pemikiran-pemikiran terkait batasan usia dan juga kedewasaan dari seseorang, atau lebih tepatnya anak-anak usia remaja yang memasuki kategori dewasa. Dalam hal ini, perdebatan tentang batasan umur masih terus berlangsung, tanpa ada kejelasan dan kepastian hukum yang bisa menjelaskannya.

Batasan-batasan umur terkadang tidak seiringan dengan ukuran kedewasaan yang sesuai dengan ketentuan, definisi tentang batasan umur itu sendiri hingga saat ini masih sangat rancu dalam pelaksanaannya, seperti dalam perundang-undangan terkait usia pernikahan, usia wajib pilih saat pesta pemilihan umum berlangsung dan beberapa peraturan lainnya.

Dan hal ini semakin menyebabkan kebingungan bagi setiap warga negara dalam melaksanakan kewajibannya, dan juga untuk mendapatkan haknya sebagai seorang warga negara. Batasan usia pernikahan yang diatur dalam perundang-undangan saat ini, masih menjadi perdebatan. Dikarenakan banyak hal yang menjadi pertimbangan terkait batasan-batasan tersebut, salah satunya bagaimana jika pemberlakuan tersebut menghambat proses pernikahan pada seseorang yang usianya masih masuk kategori belum dewasa, atau belum memasuki usia pernikahan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Menurut para ahli terkait batasan umur, khususnya bagaimana Negara memberikan perlindungan dan hak tercantum dalam perundang-undangan yang dibuat, terutama dalam pemenuhan hak dari sebuah Negara kepada warganya, hal ini seperti tercantum dalam hasil penelitian terbagi menjadi 2 konteks yaitu:

1. Pengertian usia anak di Indonesia : manusia yang berusia 0-20 Tahun, yaitu mereka yang dalam perkembangannya terus menerus berubah/berkembang dan menjadikan potensi yang ada pada diri anaka tersebut, kemampuan sifat serta sikap dan perilaku konkrit, mencapai kematangan serta menuju kepada kedewasaan secara fisik dan psikis.[1]

2. Dari segi psikologis : anak merupakan makhluk individu, salah satu tahapan perkembangann manusia yang memiliki pribadi yang baik, khas, berbeda dengan pribadi manusia dewasa.[2]

1.2 Analisa Perundang-Undangan

Dalam beberapa perundang-undangan terkait batasan-batasan usia, masih banyak mengandung unsur yang berbeda dalam menterjemahkannya, dari beberapa pihak menterjemahkan batasan usia untuk anak-anak yang terkena tindak pidana adalah 16 Tahun[3], hal tersebut tercantum dalam undang-undang tindak pidana Pasal 45 .

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah[4].

Simpang siur tentang batasan usia tentu saja menjadi semakin pelik ketika putusan itu menjerat pelaku tindak pidana di usia anak-anak. Namun dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 47 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya:[5], hal tersebut juga diatur dalam Undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 yang berbunyi untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.[6] Dalam hal ini, kandungan pasal yang mengatur tentang batasan usia pada anak-anak di bawah usia 21 Tahun masih berada dalam tanggung jawab orang tuanya.

Dalam melihat sisi peraturan terkait pembatasan usia, hal ini juga berkaitan erat dengan akses layanan pendidikan, di mana selama ini masih banyak anak-anak usia wajib belajar yang belum terpenuhi haknya, yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 Pasal 9 ayat 3 yang berbunyi Warga negara Indonesia yang berusia di atas 15 (lima belas) tahun dan belum lulus pendidikan dasar dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus atas biaya pemerintah dan/atau pemerintah daerah.[7]

Dalam pemenuhan hak dan juga keterkaitannya dengan batasan umur juga memberikan dampak yang sangat merugikan bagi anak dari hasil pernikahan campuran, salah satu contohnya kasus Gloria seorang anak dari perkawinan yang kedua orang tuanya berbeda kewarganegaraan, sehingga Gloria tidak diperbolehkan untuk tergabung dalam team Paskibraka Republik Indonesia pada 17 Agustus 2016, karena berkewarganegaraan ganda, Gloria belum bisa menentukan status warga negaranya sebelum berusia 18 Tahun, seperti yang diatur dalam UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya Undang-Undang ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[8]

Dalam hal ini pemerintah juga mengatur tentang batasan umur untuk ketenagakerjaan, dalam undang-undang ketenagakerjaan No. 23 Tahun 2003 Pasal 69 ayat 1 yang menyebutkan Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.[9] berkaitan dengan jumlah pekerja anak di Indonesia saat ini, Dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen merupakan pekerja anak.[10]

1.3 Kesimpulan

Banyaknya undang-undang yang mengatur tentang batasan umur menjadi polemik tersendiri dalam pelaksanaannya, dalam hal ini beberapa peraturan yang diberlakukan kepada anak-anak, dengan definisi batasan usia yang masih simpang siur. Membuat beberapa kebijakan tersebut menjadi perangkap bagi generasi muda di Indonesia untuk menyampaikan haknya, dan juga dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara, dan perlakuan-perlakuan yang tidak adil semakin menganulir kreatifitas anak bangsa.

Dengan demikian perlu adanya kesepakatan dari lintas sektoral, khususnya pemerintahan di Indonesia untuk kepastian pemberlakuan batasan usia, yang saat ini masih berbeda-beda. Dikarenakan jika tidak adanya kesepakatan dalam pembelakuan tersebut, maka akan terjadi kebingungan dalam implementasi seluruh undang-undang yang dibuat, yang sesungguhnya pembuatan undang-undang tersebut sangat baik namun tidak tersosialisasikan dengan baik.

Era kepemimpinan Presiden terpilih saat ini, besar harapan setiap warga negara khususnya anak-anak muda mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum, terutama terkait kebijakan yang telah diberlakukan selama ini. Perlindungan dalam hal ketenagakerjaan, pemenuhan hak mereka untuk pendidikan, dan juga bagaimana aturan-aturan itu menjadi payung hukum yang tidak semata-mata ada.

Hak dan kewajiban setiap warga negara yang sudah selayaknya terpenuhi dan di penuhi menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan seluruh elemen masyarakat di Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan penuh terhadap keberlangsungan hidup anak-anak yang menjadi ujung tombak perubahan di Republik Indonesia.

1.4 Penutup

Dalam priambule Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada pasal 27 ayat 1 yang menyebutkan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[11] Dan juga tertera dalam ayat 2 tentang tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.[12]

Upaya Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak kepada warganya tercantum dalam konstitusi, yang harus di laksanakan oleh seluruh elemen pemerintahan di Republik Indonesia. Pemberlakuan peraturan pembatasan umur kepada anak-anak, selayaknya pemerintah melakukan pengkajian ulang yang tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada warganya, dengan melihat dan mempertimbangkan keselamatan mereka, serta keberlangsungan masa depan generasi muda di Indonesia. Saat ini generasi muda menaruh harapannya pada kebijakan dan perlindungan dari pemerintah Indonesia saat ini hingga menunjang segala bentuk kreatifitas untuk menuju kehidupan yang lebih baik lagi.

1.5 Referensi [1] http://library.upnvj.ac.id/pdf/2s1h... [2] http://library.upnvj.ac.id/pdf/2s1h... [3] http://www.hukumonline.com/klinik/d... [4] http://wcw.cs.ui.ac.id/repository/d... [5] http://m-alwi.com/undang-undang-per... [6] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_7... [7]http://www.kinerja.or.id/pdf/738e1b... [8] http://www.kpai.go.id/artikel/statu... [9] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_13_... [10] http://www.ilo.org/jakarta/info/pub... [11] http://www.biomaterial.lipi.go.id/m... [12] http://www.biomaterial.lipi.go.id/m... -

Rabu, 08 Juni 2016

RITUAL ADAT PO’O (RITUAL SEBELUM PENANAMAN PADI/JAGUNG) KOMUNITAS ADAT BOAFEO-NTT



Ritual adat Po’o  biasa dilakukan  pada bulan oktober sebelum proses penanaman padi atau jagung disetiap tahunnya. Ritual adat ini dilaksanakan sebelum proses awal menanam padi atau jagung.  Ritual Po’o ini melibatkan Tetua-Tetua Adat, pemerintah desa, dan  seluruh masyarakat di komunitas Boafeo. 

Proses ritual ini dilaksanakan di tempat  khusus  yang sudah menjadi tempat ritual turun-temurun. Sebelum ritual Po’o dilaksanakan, hari sebelumya masyarakat harus mempersiapakan bahan-bahan dan keperluan untuk ritual  seperti mengumpulkan kayu bakar, mempersiapkan tungku, menyiapkan bambu yang menjadi wadah untuk memasak nasi ,  beras,  1 ekor ayam tiap keluarga yang sudah memiliki tanah garapan. Setelah bahan untuk ritual terkumpul, masyarakat berkelompok membuat tungku. Satu kelompok biasanya terdiri dari tiga samapi empat  keluarga. 

Proses ritual biasanya dimulai pada jam 06.00 pagi. Semua masyarakat berkumpul di tempat ritual.  Kemudian Mosalaki (Tetua Adat) menyalakan api pada tungkunya, setelah api menyala disebarkan ke tungku masyarakat lain untuk memulai proses memasak. Beras dimasukkan ke dalam bambu kemudian dibakar (Bheto). Masing-masing kelompok memasak pada tungkunya. 

Mosalaki  membuat masakan khusus untuk disajikan kepada leluhur. Saat semua kelompok selesai memasak, proses ritual bisa dilaksanakan. Ritual Po’o dilakukan dengan memberi makan kepada leluhur dengan cara melemparkan makanan tersebut ke tempat yang dipercayai sebagai kuburan leluhur(nenek moyang)  yang diwakili oleh Mosalaki sebagai ungkapan terima kasih kepada leluhur yang sudah mewariskan tanah garapan sebagai sumber kehidupan mereka. 

Jika ritual tersebut dilanggar maka, semua tanaman akan hancur dan tidak membuahkan hasil.
Proses ritual selanjutnya  adalah Rokaniku (pengusiran hama). Rokaniku ini dilakukan di sungai terdekat dari tempat ritual. Dalam proses ini masyarakat harus menangkap belalang terlebih dahulu, kemudian mencari daun yang ukurannya lebar. Daun tersebut dibentuk menyerupai perahu,  belalang dimasukkan ke dalam perahu tersebut kemudian dihanyutkan ke sungai. 

Belalang adalah salah satu hama yang sering merusak tanaman. Karena itu proses Rokaniku ini dipercaya  dapat menyelamatkan tanaman dari serangan hama. Setelah itu masyakat kembali ke tempat ritual sebelumnya, dalam perjalan mereka bernyanyi lagu NGGO DOWE (lagu untuk menyambut penanaman). Saat mereka sampai di tempat ritual mereka makan bersama sambil mendengarkan arahan-arahan dari Tetua Adat dan tokoh pemerintah setempat. Saat itulah masyarakat bisa melakukan penanaman di lahan garapan mereka.


Tulisan dari “Mayasari Bombong” (Peserta magang Divisi Pendidikan Masyarakat Adat-AMAN)

dari Komunitas Adat Tawalian-Mamasa, Sulawesi Barat
08 Juni 2016